Beberapa waktu lalu, media Indonesia sempat dihebohkan adanya kasus pernikahan dini dengan latar belakang sanski adat di Lombok. Kasus ini terjadi pada dua orang anak dibawah umur, S (15 tahun) dan NH (12 tahun) di Desa Pengenjek, Pringgarata Lombok Tengah. Lantas, bagaimana pandangan hukum terkait hal tersebut?
1. Kronologi Dugaan Kasus ‘Kawin Magrib’
Kasus ini bermula ketika S membawa NH jalan-jalan sampai menjelang malam. Menurut orang tua NH, perilaku tersebut telah menyalahi ketentuan adat bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh pergi berdua melebihi jam magrib. Orang tua NH pun menganggap, S telah membawa aib bagi keluarganya sehingga S harus menikahi NH.
Singkatnya, pernikahan ini dilakukan secara paksa karena tradisi dan perspektif hukum adat di daerah tersebut. Memang, dalam kasus ini paksaan tidak berasal langsung dari peraturan adat atau awig-awig desa. Namun pada dasarnya, keputusan orang tua NH dilatar belakangi oleh pandangan adat. Terlebih lagi, ironisnya hukum adat menjadi legitimasi bagi tindakan ini.
Kasus tersebut hanyalah salah satu kasus dari berbagai kasus lain, dengan konteks yang sama tetapi tidak muncul di media. Tradisi ini telah lama menjadi permasalahan sosial dan hukum. Fenomena ini bahkan menjadi sorotan dalam salah satu publikasi oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2013.
2. Penjelasan ‘Kawin Magrib’
Pernikahan paksa ini terjadi ketika laki-laki dan perempuan dianggap berduaan di tempat dan waktu yang dilarang oleh ketentuan adat suatu komunitas. Sehingga sanksi adat yang dijatuhkan adalah dipaksa untuk menikah. Pada banyak kasus, karena dianggap aib dan ada pemaksaan dari pihak orang tua, perempuan terpaksa menikah dengan laki-laki tersebut ataupun sebaliknya.
Berdasarkan publikasi oleh Komnas Perempuan 2013, pada tradisi Suku Sasak, fenomena ini dikenal istilah ‘kawin magrib’. Meskipun praktik ini sudah jarang terjadi dan memudar di wilayah perkotaan maupun pedesaan, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada anak di desa pelosok yang masih mengalami, terutama dalam komunitas yang sangat kental pandangan adatnya.
Pada beberapa komunitas juga, praktik ini masih terjadi. Namun, jam magrib bergeser menjadi jam sembilan atau sepuluh malam, tergantung kesepakatan masyarakat.
Persoalan ini juga menjadi pembahasan dalam salah satu jurnal mahasiswa Universitas Mataram tahun 2022 . Dalam jurnal tersebut, awig-awig pernikahan magrib masih dipegang di Desa Saba, Lombok Tengah. Bahkan, delik adat tersebut menjadi salah satu faktor penyebab tingginya presentase pernikahan dini di Lombok Tengah.
3. Pandangan Hukum
Keberadaan hukum adat dan budaya lokal telah diakui dan dilindungi secara langsung melalui Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Namun ketentuan hukum adat, di satu sisi tidak boleh bertentangan dengan perkembangan masyarakat dan prinsip yang diatur oleh Undang-Undang. Adapun nilai-nilai dan prinsip yang diatur dalam perundang-undangan tersebut, tidak dapat bertolak jauh dari konsep Hak Asasi Manusia (HAM).
Nilai-nilai HAM yang diatur dalam regulasi nasional merupakan implementasi dari Deklarasi Universal HAM (UDHR). Deklarasi tersebut kemudian melahirkan berbagai kovenan turunan. Tiga diantaranya dapat dijadikan rujukan dalam kasus ini, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) , International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR) dan Convention on the Rights of Child (CRC).
Ketiga turunan ini telah diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan kedalam perundang-undangan nasional. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak (UUPA).
Nilai-nilai HAM yang terdapat dalam UDHR tersebut merupakan non-derogable rights. UDHR sendiri merupakan instrumen internasional yang bersifat jus cogens atau peremptory norm yakni norma hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional dan tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun.
4. Hukum dan Hak Asasi Manusia
Dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia,pelaksanaan dan perlindungan hak anak harus berdasarkan Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak. Dalam pelaksanaanya, orang tua, wali atau pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan bagi anak, harus mempertimbangkan pendapat, tumbuh-kembang dan kesejahteraan anak. Hal ini pun terlah diatur secara implisit pada Pasal 13 UUPA yang menyatakan anak berhak atas perlindungan dari perilaku tidak adil dan perilaku salah lainnya.
Melalui kacamata HAM, tradisi ini tentunya sama sekali tidak menjadikan hak asasi anak menjadi fokus utama. Perkembangan mental dan fisik, pendidikan serta masa depan anak justru tidak dipertimbangkan. Ketidaksiapan mental anak kemungkinan besar akan menjurus pada permasalahan lainnya seperti perceraian, putus sekolah, depresi, KDRT, hingga kemiskinan struktural. Pernikahan dini pula menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi, serta stunting pada anak.
Namun menyandingkan antara hukum adat dengan hukum nasional maupun hukum internasional bukanlah hal yang sederhana. Keduanya dapat dikatakan berdiri dalam akar dan paradigma yang berbeda.
Terlebih lagi dengan adanya pandangan pluralisme hukum. Apabila dikaitkan dengan teori cultural relativism, hukum adat kemudian dapat menjadi legitimasi adanya fenomena tersebut. Sebab, budaya atau tradisi yang sama telah dilakukan masyarakat secara berulang-ulang. Terutama, ketika masyarakat yang bersangkutan menganggap hal tersebut tidak salah atau tidak merugikan.
5. Overall View
Dalam hal ini penulis tidak sepenuhnya menentang suatu pemikiran adat dan budaya yang sudah lama berkembang di masyarakat. Namun sungguh ironis, melihat hukum adat dijadikan landasan dan legitimasi bagi fenomena yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan.
Terlepas dari alasan bahwa perbuatan tersebut merupakan buah pemikiran kesukuan dan sudah dilakukan sejak lama. Khususnya dalam kasus ini ada hidup dan masa depan anak yang dipertaruhkan yang lebih besar dari hanya ‘paradigma adat’.
Memang tidak bisa semudah itu untuk merumuskan apakah suatu hal merupakan pelanggaran HAM. Namun satu hal yang pasti, hak anak adalah hak asasi manusia untuk kepentingan anak itu sendiri.
Oleh karena itu, ketika perangkat pemerintah, kepala desa, tokoh adat, maupun orang tua dari anak tersebut menciptakan dan mengabaikan situasi yang berhujung pada HAM anak yang dirugikan, maka unsur pelanggaran HAM dapat di perhitungkan.
TERIMAKASIH!
Terimakasih kawan telah membaca hingga akhir artikel, semoga artikel ini dapat membantu menambah pengetahuan dan wawasan kawan! Sampai jumpa di artikel selanjutnya.
Jika kawan Travbuck membutuhkan guide, informasi, maupun kendaraan, jangan segan untuk menghubungi kami di media sosial kami ya! Jangan lupa untuk cek artikel kami terkait Fenomena Pekerja Anak di KEK Mandalika.
Tim Travbuck
Baiq Amilia
Artikel Terkait Lainnya
Kemenparekraf Tetapkan 6 Daerah Jadi Role Model Pengembangan Ekraf 2024
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menetapkan enam kabupaten/kota menjadi role model pengembangan ekonomi kreatif atau ekraf 2024.
Travbuck Gelar Edukasi Eco Pounding Bersama Bank Sampah NTB Mandiri
Berkolaborasi dengan Bank Sampah NTB Mandiri, Travbuck menggelar kegiatan edukasi bertajuk Berajah Eco Pounding, pada Minggu, (26/05/2024).
Inilah Rangkaian Perayaan Waisak di Candi Borobudur Hari Ini
Inilah rangkaian kegiatan puncak perayaan hari raya Waisak 2568 BE yang berlangsung di Candi Borbudur, Kamis, 23 Mei 2024.
Pantai Tanjung Bias Jadi Lokasi Lebaran Topat 2024 di Lombok Barat
Pantai Tanjung Bias, Desa Senteluk, Batulayar, dipilih menjadi lokasi pelaksanaan Lebaran Topat 2024 di Lombok Barat.
Sirkuit Mandalika Bisa Jadi Pilihan Destinasi saat Libur Lebaran
Libur lebaran Idulfitri 1445 H berlangsung hingga Senin, 15 April 2024. Bagi Sobat yang memanfaatkan momen ini untuk berlibur ke Lombok, dapat berkunjung ke Sirkuit Mandalika.